Peradilan Tata Usaha Negara
Resume buku: Peradilan Tata Usaha Negara
Penulis: Prof. Dr. Philipus M Hadjon, S.H
Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara
terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu:
a) asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (ps. 67 ayat 1 UU no. 5 th. 1986);
b) asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan ps. 1856 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU no. 5 th. 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100;
c) asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tegugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal: 58, 63 ayat 1, 2, 80, 85;
d) asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.
a) asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (ps. 67 ayat 1 UU no. 5 th. 1986);
b) asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan ps. 1856 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU no. 5 th. 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100;
c) asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tegugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal: 58, 63 ayat 1, 2, 80, 85;
d) asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omnes”.
Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan
hukum publik, yaitu hukum administrasi sebagaimana ditegakkan dalam UU PTUN
Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara adalan sengketa tata usaha negara.
Hal ini ditegaskan lagi dalam rumusan tentang keputusan tata usaha negara
(Pasal 1 angka 3) yang mengisyaratkan juga tindakan
hukum tata usaha untuk adanya keputusan tata usaha negara.
Juga perlu diperhatikan bahwa kehadiran Peradilan Tata
Usaha Negara melalui UU No. 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu
tetapi juga melindungi hak masyarakat. Untuk itu disamping melindungi hak
individu sebagian besar UU No. 5 Tahun 1986 melindungi hak-hak masyarakat.
Pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah:
Pasal 49, Pasal 55, Pasal 67.
B.
Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Dalam kaitannya
dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri secara
sepintas. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986, pengadilan tata
usaha negara terdiri atas:
-
pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebagai
pengadilan tingkat pertama
-
pengadilan tinggi tata usaha negara (PT
TUN)
Pengadilan tata usaha negara dibentuk dengan
keputusan Presiden (Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1986, sedangkan pengadilan tinggi
tata usaha negara dibentuk dengan undang-undang.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 10
ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan Tata
Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak pada Mahkamah Agung
(sistem piramide).
C. Upaya Administratif
Tidak
setiap keputusan tata usaha negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui
peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal adanya upaya
administratif disyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha
negara. Tentang hal ini, Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan:
a)
dalam hal suatu badan atau pejabat tata
usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu,
maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia
b)
pengadilan baru berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan
Ada dua upaya administratif, yaitu
-
Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding
administratif”
-
Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh
instansi yang sama, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengelurkan
KTUN, maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”
D.
Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 47 UU No.5
Tahun 1986 menyebutkan: pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Apakah sengketa tata
usaha negara? Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumusakan sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara,
baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan
demikian KTUN merupakan dasar lahirnya sengketa tata usaha negara. Apakah KTUN
itu? Pasal 1 angka 3 merumuskan KTUN, adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Tindakan hukum tata usaha negara
tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha
negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usaha negara.
Untuk
itu disajikan skema tentang tindak pemerintahan (bestuurschandeling) sebagai
berikut:
E.
Tenggang Waktu Menggugat
Berdasarkan
ketentuan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah:
a)
bagi yang dituju dengan sebuah KTUN
(pihak II): 90 hari sejak saat KTUN itu diterima;
b)
bagi pihak III yang berkepentingan: 90
hari sejak saat KTUN itu diumumkan.
F.
Hak Gugat
Berdasarkan
ketentuan pasal 53 ayat 1 yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:
-
orang
atau badan hukum perdata
-
yang
kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN
dengan demikian harus ada hubungan kausal antara
KTUN dengan kerugian atau kepentingan.
G.
Petitum
Berdasarkan
ketentuan pasal 53 ayat 1, petitum pokok adalah agar KTUN tersebut dinyatakan
tidak sah atau batal. Jadi persoalan utama ialah pembatalan KTUN. Sebagai
petitum tambahan adalah:
-
ganti
rugi,
dimana tuntutan ganti rugi dibatasi jumlahnya. Berdasarkan ketentuan PP no 43
tahun 1991 ganti rugi berkisar antara Rp. 250.000,00 sampai Rp. 5.000.000,00
-
rehabilitasi,
dimana rehabilitasi hanya berlaku untuk sengketa kepegawaian, yaitu pemulihan
hak sebagai pegawai negeri. Dalam hal rehabilitasi tidak dapat dilakukan secara
penuh, pejabat yang harus melaksanakan rehabilitasi dapat dibebani suatu
kewajiban kompensasi sebesar anatar Rp. 100.000,00 sampai Rp 2.000.000,00
H.
Alasan Menggugat (Beroepsgronden)
Berdasarkan
ketentuan Pasal 55 ayat 2, dasar pengujian oleh pengadilan terhadap keputusan
tata usaha negara (KTUN) yang digugat, adalah:
a)
KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan:
-
bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat
procedural/formal;
-
bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat
materiel/subtansial;
-
dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang.
b)
Badan atau pejabat tata usaha negara
pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut
c)
Badan atau pejabat tata usaha negara
pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut
dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut
I.
Alat Bukti
Pasal 100 UU
No.5 tahun 1986 menyebutkan alat-alat bukti:
a)
surat
b)
keterangan
ahli
c)
keterangan
saksi
d)
pengakuan
para pihak
e)
pengetahuan
hakim
Dalam Hukum Acara PTUN yang dipersoalkan ialah
sah-tidaknya sebuah KTUN (persoalan rechtmatigheid).
Persoalan rechtmatigheid menyangkut
alat ukur yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Dalam hal ini yang perlu
ialah alat ukur yang digunakan hakim untuk menyatakan suatu KTUN sah atau tidak
sah.
J.
Hukum Acara
Istilah hukum
acara untuk PTUN hendaknya “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” dan bukan
“Hukum Acara TUN”. Penyebutan hukum acara PTUN untuk menunjukkan sifat
contentieux, karena dalam hukum acara TUN ada aspek contentieux dan ada aspek
non contentieux berupa prosedur pemerintahan misalnya prosedur perizinan.
Hukum acara PTUN dibedakan atas:
a)
hukum acara materil yang meliputi:
-
kompetensi
absolut dan relatif
-
hak
gugat
-
tenggang
waktu menggugat
-
alasan
menggugat
-
alat
bukti
b)
hukum acara formal (hukum acara dalam
arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas:
-
acara
biasa
-
acara
cepat
-
acara
singkat
Surat-surat
penggugat dan tergugat yang berkaitan dengan sengketa TUN adalah:
penggugat
|
tergugat
|
- surat kuasa
(kalau ada)
I. surat gugatan
II. replik
III.
kesimpulan
|
- surat kuasa
(kalau ada)
I. surat jawaban
II. duplik
III.
kesimpulan
|
K.
Banding
Arti banding,
yaitu merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah
pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang mengenai
fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang.
Agar
perkara itu diperiksa kembali di pengadilan tinggi tata usaha negara, harus
ditempuh proses sebagai berikut:
a)
permohonan pemeriksaan banding secara
tertulis yang diajukan oleh penggugat dan tergugat selama 14 hari, setelah putusan
diberitahukan kepadanya secara sah dan ditujukan kepada pengadilan tata usaha
negara (tingkat pertama) yang memutus
b)
membayar uang muka biaya perkara yang besarnya
ditaksir oleh Panitera
c)
panitera mencatat permohonan itu dalam
daftar perkara
d)
panitera memberitahukan hal itu kepada
terbanding
e)
selambat-lambatnya 30 hari setelah
permohonan itu dicatat, panitera memberitahukan kepada para pihak yang
berperkara, bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata
Usaha Negara (tingkat pertama) dalam tenggang waktu 30 hari, setelah diterima
pemberitahuan oleh yang berkepentingan.
f)
para pihak dapat menyerahkan memori
banding, dan atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada
panitera, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan atau kontra memori
diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan panitera yang memutus
g)
salinan putusan, berita cara dan surat
lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada panitera, selambat-lambatnya 60
hari sesudah pernyataan permohonan itu.
Permohonan
pemeriksaan banding itu dapat dicabut oleh pemohon selama hal itu belum
diputus. Jika permohonan itu dicabut, maka ia tidak boleh mengajukan lagi walaupun
jangka waktu untuk mengajukan banding belum lampau. Demikian pula, bilamana
salah satu pihak telah menerima putusan, maka yang bersangkutan tidak dapat
mencabut kembali pernyataannya, walaupun jangka waktu untuk mengajukan banding
belum lampau.
L.
Kasasi
Terhadap
putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi (Pasal
131) kepada Mahkamah Agung, tidak terkecuali untuk pengadilan tata usaha
negara. Untuk pemeriksaan kasasi ini Pasal 131 ayat 2 menunjuk pada Pasal 55
ayat 1 Undang-Undang, Nomor 14, Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN 1985
No.73-TLN No.3316), yang berbunyi:
“Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Agama atau yang diputus oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dilakukan menurut ketentuan undang-Undang.” (kursif dari penulis)
Ketentuan
yang menyangkut proses pemeriksaan kasasi untuk peradilan umum itu, dapat
dibedakan atas:
a)
pemeriksaan kasasi untuk perkara perdata
(Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14, Tahun 1985)
b)
pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana
menggunakan hukum acara, sebagaimana diatur oleh KUHAP (Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 14, Tahun 1985)
M.
Peninjauan Kembali
Istilah
“peninjaun kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam ketentuan perundang-undangan nasional mulai dipakai Pasal 15
Undang-Undang, Nomor 19 Tahun 1964 (LN. 1964: 107-TLN. No.2699).
Dalam
peninjauan kembali terdapat beberapa prinsip di antaranya bahwa permohonan itu:
a)
hanya dapat diajukan satu kali saja;
b)
tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan;
c)
dapat dicabut selama belum diputus, dan
bila hal itu terjadi tidak dapat diajukan lagi;
d)
diputus oleh Mahkamah Agung pada tingkat
pertama dan terakhir.
N.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Hanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde)
yang dapat dilaksanakan. Sebelum putusan itu dilaksanakan, terlebih dahulu
salinan putusan tadi dikirimkan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama),
yang mengadilinya dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari, terhitung
sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam
rangka melaksanakan putusan itu karena gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat 8)
yang berarti (para) penggugat harus memenuhi dan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya yang dapat berupa:
a)
pencabutan keputusan tata usaha negara,
yang bersangkutan (Pasal 97 ayat 9 butir a);
b)
pencabutan keputusan tata usaha negara
yang bersangkutan, dan menerbitkan keputusan yang baru (Pasal 97 ayat 9 butir
b);
c)
penerbitan keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97 ayat 9 butir c);
d)
membayar ganti rugi (Pasal 97 ayat 10 jo
Pasal 120);
e)
melakukan rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11
jo Pasal 121).
O.
Peranan Pejabat/Badan TUN dalam Sengketa TUN
Dalam sengketa
TUN badan/pejabat TUN dapat saja
mempunyai peran sebagai:
-
tergugat
-
intervenient
-
saksi
-
kuasa
hukum
-
pemegang/penyimpan
dokumen (KTUN)
Sebagai
salah satu pihak yang bersengketa, pejabat TUN hanya mungkin berkedudukan
sebagai tergugat, dan tidak mungkin sebagai penggugat (pasal 1.6). Dalam hal pejabat/badan TUN mempunyai kepentingan
terkait dengan suatu sengketa TUN, dia bisa bertindak sebagai intervevenient yang
mempertahankan/membela kepentingannya. Sebagai intervenient mestinya tidak
harus bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa, tetapi sebagai pihak
yang mandiri dengan kepentingannya sendiri (pasal
83).
Dalam
hal seorang pejabat/badan TUN diminta sebagai saksi, maka yang bersangkutan
harus datang sendiri (pasal 93).
Kelalaian dalam hal tersebut bisa melahirkan suatu tindakan paksa, yakni hakim
dapat meminta bantuan polisi untuk menghadirkan pejabat TUN tersebut (pasal 86). Dalam hal yang menyangkut
rahasia jabatan, ada-tidaknya rahasia jabatan tergantung dari penilaian hukum (pasal 89).
Seorang
pejabat bisa menjadi kuasa hukum, misalnya kabag
hukum menjadi kuasa hukum dari Bupati KDH sebagai tergugat. Hanya saja
perlu diperhatikan bahwa messkipun sudah ada kuasa hukum, hakim berwenang untuk
menghadirkan para pihak yang bersengketa (pasal
58). Di samping itu menurut UU no. 5 tahun 1991 (UU Kejaksaan), jaksa dapat
mewakili pemerintah dalam perkara perdata maupun dalam sengketa TUN (PERDATUN).
Hal itu diatur dalam pasal 27 UU no. 5 1991.
Pejabat
yang sengaja menahan dokumen berupa KTUN (mungkin dengan maksud agar penggugat
tidak memiliki bukti berupa KTUN) dapat diperintahkan hakim untuk memperlihatkan dokumen (KTUN) tersebut (pasal 85). Sehubungan dengan itu dalam
hal penggugat tidak memiliki dokumen berupa KTUN yang merupakan obyek sengketa,
hal tersebut harus diuraikan dalam surat gugatan. Atas dasar itu hakim dapat
menggunakan wewenang yang diberikan pasal 85 untuk memerintahkan pejabat yang
bersangkutan memperlihatkan atau menyerahkan KTUN tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjon, Prof. Dr. Philipus M., S.H. 2002. Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Komentar
Posting Komentar