Birokrasi dan Politik di Indonesia
Resume buku : Birokrasi dan Politik di Indonesia
Penulis : Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA
3) Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya
4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak
5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif
6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu
7) Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif
8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya
9) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatau sistem yang dijalankan secara disiplin.
Penulis : Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA
Birokrasi
Pemerintah
Bab ini
diharapkan memberikan perspektif pemikiran awal yang nantinya bisa dipergunakan
sebagai landasan dari uraian-uraian pada bab-bab selanjutnya. Uraian yang diberikan dalam bab ini menjelaskan awal
apa yang dimaksudkan dengan birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah acapkali
disebut sebagai kerajaan pejabat (officialdom)
pada hakikatnya memamerkan kekuasaan yang disusun secara hierarki. Susunan
hierarki kekuasaan seperti ini merupakan cirri khas dari perwujudan birokrasi
Weberian.
Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu
dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:
1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya
2) Jabatan-jabatan itu disusun dalam
tingkatan hierarki dari atas ke bawah dank e samping. Konsekuensinya ada
jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar
dan ada yang lebih kecil 1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya
3) Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya
4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak
5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif
6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu
7) Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif
8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya
9) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatau sistem yang dijalankan secara disiplin.
(Weber,
1978 dan Albrow, 1970)
Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah sejalan
dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu sendiri. Tumbuh dan
berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena berkembangnya
fungsi sosioekonomi, karena tekanan ideologi dan politik untuk mengembangkan pendapatan.
Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan kebijakan publik. Ada
karena kenaikan bujet dan bertambahnya personel yang mengerjakan
kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh yang besar sekali
bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi masyarakat lainnya
yang mampu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang pada pemerintahan.
Model dalam membangun birokrasi pemerintahan yang
dikemukakan pada bab ini memberikan landasan pemikiran untuk menyusun bagaimana
seharusnya sistem dan kelembagaan yang dipilih. Dari model yang menekankan
tentang demokrasi, konstitusi, efisiensi, sampai dengan pandangan politik dan
ekonomi bisa dijadikan acuan pemikiran. Model-model yang dikemukakan oleh
Douglas Yate dan pasangan Dun Leavy dan O’leav bisa dianalisis bagaimana
pemerintahan ini dirancang dan dilaksanankan.
Model pertama disebutnya sebagai model pluralist-democracy dan model kedua
dinamakan model administrative-efficiency.
Dua model ini cenderung diartikan sebagai ideologi yang menjadi doktrin dalam
mengatur negara atau pemerintahan. Model pluralist-democracy
berasumsi sebagai berikut:
1)
Bahwa di dalam masyarakat itu terdapat
banyak sekali kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang berbeda satu sama lain dan saling bersaing
2)
Bahwa pemerintah itu harus menawarkan
suatu akses dan sarana partisipasi yang sama kepada kelompok- kelompok
kepentingan tersebut
3)
Bahwa pemerintah harus mempunyai banyak
pusat-pusat kekuasaan yang menyebar baik vertical maupun horizontal untuk
menjamin keseimbangan (a balance of power)
4)
Bahwa pemerintahan dan politik itu harus
bisa dipahami sebagai suatu sarana kompetisi di antara kepentingan- kepentingan
minoritas
5)
Bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa
suatu kelompok yang aktif dan legitimate dalam
suatu populasi bisa membuat dirikunya mendengar secara efektif terhadap
tahapan-tahapan yang krusial dalam proses pembuatan kebijaksanaan
6)
Bahwa kompetisi di antara institusi
pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan nonpemerintah bisa menyebabkan
terjadinya suatu bargaining dan
kompromi, dan juga menghasilkan suatu keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat
Adapun model satunya yang dinamakan administrative-efficiency asumsi dasarnya menurut Yates sebagai
berikut:
1)
Model ini menentang model pluralist-democracy, karena model
pluralis tidak mampu memberikan dasar yang kuat dan cocok terhadap
kebijaksanaan publik yang rasioanl dan bebas nilai (values free)
2)
Bahwa nilai utama dari proses
kebijaksanaan publik itu ialah efisiensi, yakni diperoleh suatu hasil yang
terbsesar dengan biaya yang terkecil
3)
Bahwa birokrat haruslah pejabat yang
professional, dipilih dan diangkat secara kompetitif berdasarkan kompetensi dan
merit
4)
Bahwa sistem merit dan keahlian ditata
dan diorganisasikan secara efektif ke dalam suatu hierarki yang memuat
spesialisasi fungsi dengan pertanggung jawaban dan kewajiban yang jelas
5)
Bahwa politik dan administrasi, demikian
pula kenyataan (fact) dan nilai (values) harus bisa dipisahkan
6)
Bahwa perencanaan merupakan proses yang
esensial bagi proses pembuatan keputusan yang baik dan sentralisasi manajemen
fiskal merupakan hal yang esensial bagi tercapainya kejujuran dan efektivitas
7)
Bahwa kemampuan melakukan koordinasi
yang menyeluruh dan energized sehingga
menjadi bagian dari suatu sistem birokrasi publik yang kuat haruslah diletakkan
kepada eksekutif yang dipilih sebagai wakil dari kepentingan rakyat
Adapun pilihan yang diajukan dalam model-model
tersebut bisa dikelompokkan ke dalam dua pertanyaan besar, yakni: (1) apakah
kita akan memilih model birokrasi yang demokratis atau menekankan pada efisensi
saja, dan (2) apakah kita akan meletakkan birokrasi pemerintah termasuk di
dalamnya para birokratnya bebas dari kepemilihan pada kekuatan-kekuatan partai
politik atau memihak. Dilema ini akan selalu dihadapi jika kita tidak mampu
memilih salah satu di antara kedua pertanyaan tersebut, atau mencari model lain
yang sesuai.
Ada dua sistem pemerintahan demokrasi, yakni Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Presidensial. Hampir semua negara demokrasi di dunia
yang mngikuti sistem Demokrasi Parlementer, sisanya mengikuti sistem Demokrasi
Presidensial. Indonesia mengikuti Demokrasi Presidensial, akan tetapi juga
pernah mencoba melaksanakan Demokrasi Parlementer.
Politik dan birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan
tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Kehadiran politik dalam birokrasi
pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perlu diikuti dengan
kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam birokrasi pemerintah tidak mungkin
hanya didominasi oleh para birokrat tanpa memberikan kesempatan hadirnya
institusi politik. Rancang bangun penghuni birokrasi pemerintah akan dijumpai
hadirnya jabatan-jabatan birokrasi karier dan jabatan-jabatan politik. Bangunan
jabatan-jabatan tersebut tidak hanya terjadi diinstitusi pemerintah atau
pemerintah federal, melainkan terdapat pula dalam institusi pemerintah lokal
atau daerah.
Di pemerintah pusat atau federal terdapat institusi
politik di bawah presiden yang disebut departemen. Organisasi ini merupakan
tempat politik yang mempunyai akses kepada kepada pemerintahan. Institusi ini
dipimpin menteri atau secretary.
Selain itu ada pula institusi yang murni dijabat oleh pejabat birokrasi karier
yang disebut executive agency atau
lembaga pemerintah nondepartemen. Lembaga ini sederajat dengan departemen hanya
bedanya tidak dipimpin oleh menteri atau secretary dan tidak diberi label
departemen.
Di pemerintah lokal atau daerah dapat pula dibentuk
jabatan-jabatan politik dan birokrasi. Keduanya harus jelas perbedaan wewenang,
tanggung jawab, tugas pokok dan fungsinya. Oleh karena itu, sebelumnya perlu
diperjalas proses penentuan perbedaan antara kedua jabatan tersebut.
Bab
2
Birokrasi
dan Administrasi Publik
Ilmu Administrasi Publik memang bukan sekedar sketsa yang
hanya mampu menggambarkan sesuatu gejala tanpa diikuti program aksi yang
realistis. Jika administrasi publik hanya membicarakan hal-hal yang abstrak
yang tidak membumi dikehidupan masyarakat maka ilmu ini banyak diabaikan dan
kurang ada perannya dalam menata kepemerintahan yang amanah, demokratis dan
baik. Oleh karena itu, konsep-konsep dan model yang diajukan oleh ilmu
administrasi publik, seperti yang diuraikan di dalam bab ini tata
kepemerintahan yang demokratis (democratic
state) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance) perlu diikuti oleh konsep dan model yang
operasional.
Administrasi Publik sangat perhatian terhadap terwujudnya
tata kepemerintahan yang baik dan amanah. Tata kepemerinrtahan yang baik itu
diwujudkan dengan lahirnya tatanan kepemerintahan yang demokratis dan
diselenggarakan secara baik, bersih, transparan dan berwibawa. Tata
kepemerintahan yang demokratis menekankan bahwa lokus dan fokus kekuasaan itu
tidak hanya berada di pemerintahan saja, melainkan beralih terpusat pada tangan
rakyat. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik terletak seberapa jauh
konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha berjalan secara
kohesif, selaras, kongruen, dan sebanding. Berubahnya sistem keseimbangan
antara tiga komponen tersebut bisa melahirkan segala macam penyimpangan
termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme berikut tidak ditegakkannya hukum
secara konsekuen.
Bab ini menerangkan pemahaman Ilmu Administrasi Publik
dan perannya dalam menciptakan tata kepemerintahan yang demokratis dan baik (good governance). Menurut UNDP ada tiga
komponen yang berperan menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Tiga komponen
itu ialah: aktor pemerintah, aktor sektor swasta atau para pengusaha, dan aktor
civil society atau rakyat.
Dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik, penyakit
yang senantiasa merusak dan menggerogotinya ialah korupsi, kolusi dan
nepotisme. Ketiga penyakit good
governance ini perlu ditanggulangi dengan mengajukan satu komponen lagi
yaitu komponen moral. Komponen moral ini harus menyinari ketiganya. Moral
sebagai operasionalisasi dari keyakinan agama yang dipeluk oleh masing-masing
orang yang berada dimasing-masing komponen harus menjadi pertimbangan bagi
setiap transaksi diantara ketiganya. Khusus bagi para pejabat birokrasi
pemerintah moral dijadikan pertimbangan utama mulai dari proses rekruitmen,
promosi dan penempatan pejabat birokrasi pemerintah.
Peran ilmu administrasi publik amat menentukan dalam
menciptakan keseimbangan keempat komponen tersebut. Dengan demikian ilmu
administrasi publik tidak hanya terpaku pada lukisan statis yang hanya mampu
mengajukan preskripsi teoritis saja, akan tetapi juga mampu mengembangkan
program aksi yang dinamis dan bermanfaat bagi masyarakat. Bagaimana mewujudkan
konsep pemikiran menjadi kenyataan putting
the ideas into practice merupakan perhatian yang amat besar bagi ilmu
administrasi publik ini.
Bab
3
Birokrasi
dan Partai Politik
Bab ini memberikan uraian hubungan birokrasi dan partai
politik. Setelah diuraikan partai politik dan ideologi, demikian pula ideologi
dengan pemerintahan, maka sampailah kepada uraian tentang netralitas birokrasi
terhadap partai politik. Sistem merit dalam politik sebagaimana sistem merit
dalam birokrasi merupakan untuk menegaskan sistem pemerintahan yang baik.
Karakteristik yang sangat menonjol dari istilah yang
menunjukkan pengertian ideologi adalah selalu mempergunakan akhirnya isme (ism), seperti misalnya sosialisme (socialism), fasisme (fascism), komunisme (communism), liberalism (liberalism) dan lain sebagainya. Suatu
ideologi tidaklah sama dengan sebuah idea tau suatu konsep pendapat. Melainkan
ideologi adalah lebih bersifat suatu rangkain ide-ide yang satu sama lainnnya
secara logis (in logical way)
mempunyai keterkaitan.
Politik selalu berkaitan dengan kehidupan bernegara dan
berpemerintahan. Studi politik yang amat tua dan tradisional merujuk ke masa
silam yang jauh ke kejayaan para phisolopher
Yunani berabad-abad sebelum kelahiran Nabi Isa Alaihis Salam. Tradisi tua ini
oleh studi politik disebut sebagai filsafat politik, yakni suatu kajian yang
menekankan bahwa nilai-nilai dan perilaku politik berada pada bingkai ideologi.
Dengan demikian ideologi menjadi referensi pokok dari studi klasik tentang
politik. Dalam bab ini pada awalnya diterangkan pemahaman dan pengenalan
terhadap identitas ideologi berikut komponenya. Ideologi dalam pemerintahan
merupakan salah satu wujud dari ideologi politik yang berusaha menjelaskan
batas-batas kekuasaan yang berlaku dan yang terjadi dalam pemerintahan.
Kekuasaan dalam pemerintahan cenderung untuk tidak dibatasi. Akan tetapi
kekuasaaan itu perlu dibatasi. Cara membatasi kekuasaan dalam pemerintahan
sistem demokrasi perlu dijalankan. Dan demokrasi dalam pemerintahan itu adalah
kepemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pertanyaan yang mendasar ialah siapa yang sebenarnya
disebut rakyat itu? Dalam bab ini dijawab bahwa rakyat biasa dijumpai dalam
partai politik dan kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan lainnya. Rakyat
melalui partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya menjadi
pemegang dan sumber dari kekuasaan yang dijalankan dalam pemerintahan. Oleh karena
itu, kelahiran dan kehadiran partai politik sebagai wadah politik rakyat dalam
memperjuangkan aspirasinya agar bisa dijalankan dalam pemerintahan merupakan
keharusan demokrasi. Dengan demikian kehadiran partai politik dalam birokrasi
pemerintah tidak bisa dihindari. Masuknya partai politik dalam kekuasaan
pemerintahan harus melalui pemilihan umum. Bagi partai politik yang memenangkan
sauara terbanyak dari rakyat berhak baginya untuk memimpin pemerintah dan hadir
di tengah-tengah birokrasi pemerintah.
Bab ini juga menawarkan beberapa prinsip dan model
demokrasi dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan suatau bentuk pemerintahan
yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik
(political equality), konsultasi atau
dialog dengan rakyat (popular
consultation) dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.
Bab ini ditutup dengan mengajukan sistem dan model merit
dalam politik. Sistem merit dalam politik diuraikan dibab ini, agar sistem
merit ini tidak hanya dimiliki dan dimonopoli oleh pejabat-pejabat karier dalam
pemerintahan saja. Dengan demikian karier dalam politik mulai dari tataran yang
rendah sampai ke tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan ke
profesionalitas politik amat diperlukan bagi pejabat-pejabat yang meniti di
jalur politik ini.
Bab
4
Partai
Politik dan Birokrasi Pemerintah di Indonesia
Partai politik dan birokrasi pemerintah
di Indonesia mulai berinteraksi, berkaitan dan saling terlibat sejak
bulan-bulan awal kemerdekaan. Ketika Maklumat X Wakil Presiden yang dikeluarkan
tahun 1945, ketika itu pula mulai dikenal kehidupan partai politik. Kehadiran
partai politik sebagai perwujudan dari kemerdekaan rakyat untuk berserikat
merupakan realisasi dari demokrasi. Kehadiran partai politik ini sekaligus
memberikan legitimasi dari kehadiran mereka dalam pemerintahan. Kehadiran
mereka dimulai dari hadirnya para menteri yang memimpin kementrian dalam
susunan kabinet pemerintah.
Sejarah kehadiran partai politik dalam pemerintahan yang
dipresentasikan dalam susunan kabinet dapat dimulai dari kabinet pertama yang
bersifat presidensial sampai dengan kabinet zaman pemerintahan Orde Baru dan
disusul dengan kabinet zaman reformasi. Susunan kabinetnya dengan mempergunakan
sebutan yang bermacam-macam untuk masing-masing kementriannya menunjukkan
adanya variasi yang berbeda satu sama lainnya. Semenjak peran partai politik
dalam susunan kabinet baik pada sistem parlementer maupun presidensial sangat
menentukan, maka semenjak itu lokus dan fokus penggunaan kekuasaan bergerak
sesuai dengan gerakan bandul pendulum antara legislatif dan eksekutif.
Periodisasi penggunaan kekuasaan itu dapat ditemukan semenjak kabinet pertama
di dalam UUD 45, kemudian dalam Kabinet Parlementer dalam UUD 45 pertama,
disusul dalam Kabinet Parlementer dalam UUD 45, Kabinet Parlementer dalam UUD
50, Kabinet Presidensial dalam UUD 45 kedua, Kabinet Presidensial pemerintah
Orde Baru, dan sampai sekarang ini. Gerakan pendulum bergerak antara titik
kekuasaan yang berada di eksekutif, kemudian bergerak pindah di legislatif,
bergerak lagi ke eksekutif, dan sekarang tampaknya berada di legislatif lagi.
Para pelakunya tidak ada lain kecuali partai politik, pegawai birokrasi
pemerintah, dan militer.
Memang sebenarnya kehadiran partai politik dalam tatanan
birokrasi pemerintah sulit dihindari untuk menjadikan birokrasi netral. Setiap
saat partai politik yang memimpin birokrasi pemerintah berinteraksi dengan
pejabat karier birokrasi. Pihak mana dulu yang memulai, apakah partai
politiknya atau dari pejabat birokrasinya, semuanya bisa terjadi. Interaksi
seperti inilah yang membangun sistem birokrasi pemerintah yang rentan terhadap
intervensi politik. Di dalam sistem pemerintahan perwakilan konstitusional
birokrasi pemerintah merupakan mesin yang netral, akan tetapi operasional mesin
tersebut sangat tergantung kepada pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil
rakyat di parlemen. Dengan demikian pemerintahan itu sangat tergantung pula
oleh partai politik yang memerintah pegawai dan pejabat birokrasi pemerintah
sebagai salah satu pilar utama pemerintahan ibarat mesin itu bisa bisa saja
diputar atau distop kapan saja oleh masternya, yakni partai politik. Sebaiknya
jika dilakukan reformasi, maka hendaknya dimulai dari membangun sistem yang
menjunjung tinggi moral, etika, dan supremasi hukum. Bangunan itu harus
didasari oleh UU yang tegas akan sangsinya.
Bab
5
Aspek
Kelembagaan dalam Birokrasi Pemerintah Sipil
Pengalaman selama ini dalam menyelenggarakan pemerintahan
yang demokratis membawa kita kepada
suatu pilihan untuk melahirkan suatu sistem pemerintahan yang didukung oleh
seluruh komponen rakyat (civil society).
Pemerintahan sipil yang dikelola dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
menjelang akhir dasawarsa yang lalu dikenal dengan istilah pemerintahan dari
masyarakat madani. Pemerintahan semacam ini bisa melahirkan terwujudnya
masyarakat sipil dan amanah. Terwujudnya masyarakat sipil yang amanah ini juga
akan melahirkan sistem pemerintahan madani, suatu pemerintahan demokratis yang
meletakkan peran rakyat pada titik sentral yang utama. Suatu sistem
pemerintahan yang amanah madaniah akan didukung pula oleh kelembagaan birokrasi
pemerintah yang disiplin .
Masyarakat madani acapkali dialihbahasakan dari istilah civil society yang kira-kira bisa
diterjemahkan secara harfiah menjadi masyarakat sipil. Terjemahan seperti itu
atau menamakan civil society atau
masyarakat madani sebagai masyarakat sipil, banyak kalangan yang keberatan
karena tidak mewadahi pemahaman keseluruhan dari istilah tersebut. Terjemahan
dari bahasa manapun kiranya tidak ada yang bisa persis cocok seperti makna
aslinya. Itulah sebabnya suatu terjemahan hendaknya dijadikan sebagai kurang
lebih seperti maknanya. Civil society sebenarnya
menurut tangkapan penulis tidak ada lain artinya sebagai suatu lembaga yang
ingin mendudukkan supremasi sipil dalam tata kenegaraan. Istilah sipil mestinya
dilawankan dengan istilah nonsipil, dan yang nonsipil itu adalah militer.
Selama ini kita tidak berani mengatakan itu, karena semenjak Orde Baru rakyat
Indonesia dicegah membicarakan soal supremasi sipil dalam sistem pemerintahan
nasional.
Jika ditelusuri dalam perkamusan, makna istilah civil dalam kamus bahasa Inggris
karangan John Echols dan Hassan Shadily (1975) merupakan kata sifat yang
artinya sipil atau perdata. Kata bendanya adalah civilan atau civilization
yang artinya bisa orang sipil atau peradaban. Dengan demikian civil society kalau diterjemahkan dengan
mengingat arti kata civil, civilian dan civilization adalah masyarakat yang di dalamnya peradaban dijunjung
tinggi. Dengan kata lain masyarakat sipil yang penuh dengan peradaban. Satu
pengertian, yakni peradaban yang mestinya tidak boleh dilupakan jika memahami civil society yang dipopulerkan di
Indonesia dan Malaysia sebagai padanan dengan masyarakat madani. Dengan
demikian dalam masyarakat yang peradaban itu menjadi acuan utama dan dijunjung
tinggi. Peradaban merupakan wujud dari sifat akhlakul karimah, akhlak yang terpuji dari setiap pelaku dan
anggota masyarakat madani. Pemerintahan madani dan kelembagaan birokrasi madani
sebagai lemabaga yang akan mewujudkan masyarakat madani harusnya dikelola oleh
orang-orang yang berakhlakul karimah.
Bab ini secara ringkas mengemukakan pokok-pokok pikiran tentang
kelembagaan dalam masyarakat madani. Demikian pula dasar-dasar pembentukan
kelembagaan dari pemerintahan masyarakat madani diuraikan secara padat.
Sebagaiamana kita ketahui setelah mengalami proses pmerintahan yang jauh dari
demokrasi, maka tiba saatnya sekarang kita mencari model baru yang konsisten
dalam melaksanakan demokrasi. Model baru tersebut ialah paradigma masyarakat
dan pemerintahan madani. Dalam paradigma ini demokrasi yang berintikan pada
kedaulatan rakyat dan pengakuan adanya moral perbedaan mencerminkan adanya
pengakuan atas kemajemukan, kesetaraan, transparansi, dan yang menjunjung
tinggi hukum dilaksakan secara konsekuen. Ada tiga kelembagaan yang perlu
memperoleh perhatian dalam paradigma masyarakat madani ini, yakni kelembagaan
rakyat, kelembagaan pemerintahan, dan kelembagaan hukum. Selain itu hubungan
yang erat antara lembaga rakyat, lembaga pemerintahan dan sektor private dalam masyarakat dan
pemerintahan madani perlu memperoleh perhatian yang baik.
Pemerintahan madani menempatkan supremasi sipil dalma
mengatur sistem dan tata pemerintahan yang baik. Hal ini berarti dominasi
militer sebagai penentu kekuasaan dalam sistem dan pelaksanaan tata
pemerintahan yang selama ini kita
rasakan hendaknya mulai disiapkan diganti dengan supremasi sipil. Hal ini
berarti negara harus mulai dilakukan dan dirumuskan oleh orang-orang politik
wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Mereka itu berada di lembaga perwakilan
baik di DPR maupun MPR atau bentuk baru lagi setelah amandemen UUD 45, yang
lembaga ini kita sepakati sebagai lembaga politik di negara kita.
Peranan partai politik sebagai wadah dari kumpulan rakyat
merupakan bentuk transformasi dari lembaga rakyat yang memegang kedaulatan
rakyat. Peranan sebagai lembaga rakyat ini harus diikuti oleh peningkatan
kualitas dari partai politik sendiri. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas
partai politik, maka iklim dan suasana demokrasi akan berkembang dengan baik.
Jika demokrasi berjalan dengan baik yang dimulai dari tata kehidupan berpartai tersebut,
maka masyarakat madani akan bisa segera diwujudkan. Tanpa peningkatan ini maka
upaya melembagakan paradigma madani sulit bisa direalisasikan.
Komentar
Posting Komentar